FREELINENEWS.COM | BIREUEN – Pilu, banjir bandang menerjang seluruh penjuru pedesaan atau gampong dalam 17 kecamatan termasuk juga di pusat ibukota Kabupaten Bireuen, Selasa-Rabu 25 s.d 26 November 2025..
Menyisakan duka terhadap masyarakat terkena dampak parah bencana alam itu, baik yang tinggal di daratan, dekat aliran sungai bahkan diapit perbukitan.
Terutama korban rumah tertimbun, rusak ringan dan berat, hilang tanpa bekas disapu bersih derasnya air bah bercampur kayu juga pasir bercampur tanah berlumpur yang dibawa banjir menumpuk di halaman dan dalam rumah masyarakat.
Salah satunya rumah milik Nafsiah, 65 ditempati bersama kakaknya Salbiah, 70, keduanya sehari-hari kerja sebagai petani untuk menyambung hidup. Dua wanita sepuh itu kini hanya berdoa dan berharap kepada Allah SWT.
Saat sudah berjalan proses rehabilitasi dan rekonstruksi (Rehab Rekon) pasca bencana alam nanti, pemerintah dapat hadir membatu membangun rumah untuk mereka.
Banjir itu tidak saja merusak rumah warga, juga merendam dan merusak berbagai fasilitas umum serta pusat pelayanan termasuk juga sawah dan kebun sumber utama penghasilan masyarakat.
Sebab, kini mereka tidak punya tempat tinggal lantaran rumah semi permanen yang mereka huni berdua selama ini, telah hancur diterjang banjir, Selasa (25/12/2025) malam pukul 20.00 WIB.
Kondisi itu diketahui freelinenews.com saat melintas di jalan utama Gampong Pante Baro Gle Siblah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, melihat kondisi dampak banjir, didepan puing-puing dinding dan atap rumah hancur berlipat-lipat dekat jalan.
Terlihat kedua nenek itu sedang duduk termenung melihat kondisi rumahnya yang hancur dan menyisakan pondasi akibat diterjang kepala air bah datang deras dari hamparan sawah luas di dibelakang rumah tanpa ada halangan hingga bangunan rumah lepas hancur terlempar ke halaman dekat jalan.
Masih membekas diingatan kedua nenek itu, seperti diceritakan Nafsiah dan di iyakan kakaknya. Malam itu, Selasa 25 November 2025 pukul 20.00 WIB, cuaca hujan, secara umum di Bireuen waktu itu hujan panjang selama tujuh hari.
Tiba-tiba datang air/banjir kerumah dengan ketinggian air selutut, lalu mereka bergegas mengambil barang secukupnya pergi keluar rumah untuk mengungsi ke tempat lebih tinggi bersama tetangganya. Dalam renang malam dia melihat rumahnya masih ada dan sudah terendam banjir.
“Saat datang banjir kami langsung keluar bersama tetangga, baru sampai jalan air sudah tinggi seleher lalu kami jalan terus pelan-pelan melewati arus banjir mengungsi ke dayah sekitar 1 km dari rumah. Saat ini kami masih mengungsi di meunasah,” sebutnya.
Saat berusaha menyelamatkan diri, Nafsiah melihat dan mendengar suara arus banjir bandang itu mengalir deras dan terdengar suara dentuman keras yang kemudian diketahui rumahnya hancur dihantam air bah belum pernah terjadi sedasyat itu, ungkapnya.[Rahmat Hidayat]












