Keberadaan tambang minyak tradisional di Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, bukanlah babak baru dalam sejarah industri minyak di Nusantara ini. Sejarah telah mencatat sejak abad ke 14 pasukan kerajaan Samudera Pasai telah memanfaatkan minyak dari Perut Bumi Nurul Akla itu untuk kebutuhan losgistik perang.
Selanjutnya pada tahun 1885 seorang ahli tembakau Belanda, membuka tambang minyak di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Kemudian pada tahun 1899 Perusahaan minyak asal negara kincir angin tersebut menggarap tambang minyak rakyat di Ranto Peureulak, kemudian melakukan pemasangan pipa mengaliri minyak Ranto Peureulak ke Pangkalan Brandan.
Menjelang kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Jepang juga membangun kilang minyak pertama di kawasan Pantai Timur Aceh. Setelah Jepang angkat kaki dari persada ibu pertiwi Indonesia, 18 Desember 1945, ratusan sumur minyak di daearah ini terbengkalai dan dimanfaatkan sebagai sumur minyak tradisional oleh masyarakat.
“Sekitaran tahun 1970, perusahaan minyak asal Amerika, Asamara Oil, LTD kemabali melakukan eskplorasi di Kecamatan Ranto Peureulak dan sekitarnya. Saat itu ekonomi masyarakat kawasan Ranto Peureulak, mulai berkembang,” kata Tokoh Masyarakat Pasir Putih Rusli Ranto kepada freelinenews.com, Rabu (24/04/2024).
Kisah Rusli Ranto, setelah Asamera Oil LTD, berakhir masa kontraknya, selanjutnya ladang minyak di Ranto Peureulak dan sekitarnya di kelola oleh Conoco Philip, selanjutnya dilanjutkan oleh Pasific Oil & Gas, dan akhirnya sumur minyak di kawasan tersebut dikelola oleh Pertamina (persero).
“Berdasarkan sejarah yang telah dirilis banyak penulis, bahwa keberadaan sumur minyak tradisional di Ranto Peureulak bukanlah babak baru. Saya selaku putra Ranto Peureulak, tentunya banyak nostalgia tentang sejarah panjang ladang minyak di tanah kelahiran saya,” demikian Rusli Ranto singkat.
Pasang surut perekonomian masyarakat juga terjadi seiring perusahaan migas di daerah itu angkat kaki. Besi-besi telaga yang menonjol dari perut bumi hanya menyisakan menurunya perekonomian masyarakat di daerah itu.
Pasca perdamaian Aceh, masyarakat daerah itu mulai menggarap ratusan sumur minyak peninggalan Belanda itu untuk meningkatkan status perekonomian mereka. Peningkatan ekonomi dari semburan hasil tambang tradisional darerah itu bukan saja dirasakan oleh para pelaku tambang minyak saja. Akan tetapi keberkahan hasil bumi tersebut juga dirasakan oleh masyarakat banyak di kawasan pantai timur Aceh ini.
Ketika penulis dengan menggunakan satu unit mobil Toyata Cayla bersama kawan LSM dan Wartawan senior Aceh Timur mencoba menelusuri kawasan sumur minyak di kawasan Ranto Peureulak, terlihat banyak ibu-ibu separuh baya dengan pakaian berlumuri minyak mentah seraya meneteng beberapa jerigen isi 5 liter berjalan di lereng perkebunan sawit.
Saat kami menyapa, ibu -ibu yang sedang meleles minyak mentah, semberingah dengan hati penuh was-was saat kami mengabadikan poto mereka dengan camera ponsel. Mereka bertanya siapa kalian, dan keupue poto-poto?, tanya Dahliana (42) tahun warga Paya Gajah, Kecamatan Peureulak Barat, Aceh Timu.
Setelah para ibu-ibu yang sedang meleles tersebut mengetahui tujuan kami, mereka sontak saja membeberkan sejumlah keberkahan yang diperolehnya dari hasil keberadaan adanya tambang minyak tradisional di daerah itu.
“Kami ke sini hanya mencari lelesan minyak dari sumur-sumur tradisional yang ada di daerah ini untuk menutupi kebutuhan keluarga. Alhamdulilah hasil dari meleles di sepanjang sumur minyak, setiap hari saya memperoleh sinuek sampai lhee neuk siuroe.(satu jerinen 5 liter hingga 3 tinga herigen/hari),”ujar Dahliana.
Sebutnya, setiap hari Ia memperoleh dari Rp 50.000 hingga Rp75.000/harinya. Jelas Dahliana hasil yang diperolehnya itu untuk menutupi kebutuhan keluarga dan biaya anak-anakny sekolah. “Setelah beberapa tahun ini pasca suami saya lumpuh, saya bergantung hidup dari hasil meleles minyak di sumur-sumur minyak tradisional daerah ini,” ucap Dahliana dengan raut wajah dibaluti kesedihan.
Kisah kebergantungan hidup di area tambang minyak tradisional daerah itu bukan saja diceritakan oleh Dahliana. Hal senada juga dikatakan Sabiah (32) warga Ranto Peureulak, menurutnya, keberadaan sumur minyak di daerah itu telah memberi keberkahan bagi keluarganya, Ia dan suaminya dalam beberapa tahun terakhir telah menjadikan meleles minyak mentah menjadi pekerjaan rutinitasnya untuk menutupi kebutuhan keluarga.
“Yang meleles minyak di daerah ini bukan saja masyarakat dari Ranto Peureulak, namun banyak masyarakat dari Panton Labu Aceh Utara, Kota Langsa yang datang meleles minyak mentah disini,” kata Salbiah.
Percikan minyak mentah dari sumur tua di daerah itu juga membuka peluang kerja terhadap para pedagang warung kecil disepanjang kawasan sumur tradisional. Kendatipun warung mereka hanya beratap tenda biru, namun mereka bisa meraih keuntungan Rp 150 ribu perhari.
Pantauan penulis di warung kecil Kak Rita, kawasan Desa Mata Ie, terlihat Kak Rita sibuk melayani pembeli dari kalangan ibu-ibu yang sedang meleles minyak mentah di daerah itu. Kak Rita kepada penulis mengisahkan bahwa dirinya sejak 2012 telah berjualan minuman dan makanan secara berpindah-pindah di daerah itu.
Meskipun warungnya terbuat dari tenda, agar lebih maksimal dalam melayani pelanggannya Kak Rita harus memperkejakan orang lain sebagai pelayan di warungnya. “Kami sangat bersyukur atas keberadaan sumur minyak tardisional di daerah ini. Kami selama ini bergantung hidup dari aktifitas sumur minyak di daerah ini, kami berharap sumur-sumur minyak tradisional ini tetap ada selama-lamanya,” ujar Rita.
Ibu-ibu peleles minyak mentah hingga pemilik warung di daerah itu, sangat mengharapkan keberlangsungan sumur minyak tradisional di daerah itu terus beralanjut. “Kami selalu berdoa agar sumber minyak di perut bumi dareah ini tidak pernah kering untuk keberkahan masyarakat,” kata Rita dan ibu-ibu peleles minyak mentah yang ditemui penulis.
Keberadaan sumur minyak mentah yang dikelola secara tradisional di daerah itu, bukan saja memberi dampak terhadap peningkatan ekonomi pera pelaku, akan tetapi juga memberi dampak terhadap pembangunan daerah, khusunya Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, bagaimana dampak sosial dan peningkatan sarana baca tulisan ini di part selanjutnya………..[]