Memulai usaha kolam budidaya lele sistem kolam terpal di lantai dua rumahnya itu, tidak membutuhkan modal besar. Lokasi lantai dua rumahnya berukuran 8 x 8 meter, dapat menempatkan tiga kolam tenda berdiameter 3 meter untuk kolam budidaya lele.
“Dua kolam dapat menampung tebaran 2500 bibit lele, dan satu kolam lagi berdiameter yang sama, saya manfaatkan sebagai penampung cadangan air untuk dua kolam budidaya,” papar ayah dua anak tersebut.
Katanya, modal budidaya pada awalnya hanya untuk membangun kolam terpal dan membeli bibit sebanyak 2500 ekor dengan harga berkisar Rp200-Rp250/bibit. Sedangkan untuk pakan, dia memanfaatkan limbah rumah tangga dan limbah sayur yang dia kutip dari pasar sayur di Kota Idi Rayeuk, ibu kota Aceh Timur. Selain itu, untuk mendapatkan pakan bernutrisi, Baihaqi juga rajin mencari pakan tambahan lainnya seperti keong mas di lahan persawahan warga.
“Memanfaatkan pakan limbah keluarga dan sayur dapat meghemat biaya produksi. Sehingga hasil panen nanti mendapat keutungan lebih dibandingkan penggunaan pakan palet,” ujarnya.
Baihaqi memperkirakan, dari 2500 bibit lele yang dia tebar di dua kolam tendanya, setelah mortalitas (pengurangan angka kematian) yang mencapai 35 persen, maka dia akan dapat memanen lebih kurang 250 kg lele, dengan ukuran 6 sampai 8 ekor per kilogramnya, dengan harga jual tingkat petani mencapai Rp15.000 hingga Rp18.000/ Kg.
Katanya, budidaya lele di kolam tenda dengan memanfaatkan lahan perkarangan sempit merupakan salah satu solusi usaha untuk menutupi ketahanan pangan keluarga di tengah pandemi seperti sekarang ini.
“Banyak manfaatnya, selain kita disibukkan harus berada di rumah untuk memperkecil keluar rumah masa pendemi. Kegiatan budidaya lele di kolam tenda juga memberi keutungan lainnya, seperti memanfaatkan limbah air kolam lele untuk penyiraman tanaman holtikultura (sayur-sayuran) di perkarangan, dan air dari kolam terpal budidaya juga dapat kita manfaatkan sebagai lahan pertanian sistem aquaponik,” papar Baihaqi.