Oleh : Dr. Asrar Mabrur Faza, S.Th.I., M.A.
(Dosen Ilmu Hadis IAIN Langsa)
Al-Hakim Al-Naysaburi meriwayatkan hadis shahih Al-Isnad, dalam kitab Al-Mustadrak ‘Ala Al-Shahihayn: Rasulullah Saw bersabda: “Makanlah kalian, minumlah dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan berbangga-bangaan. Sesungguhnya Allah suka melihat bukti nikmat-Nya terhadap hamba-Nya.”(Al-Mustadrak, IV: 241, No. 7268).
Melalui hadis di atas, Rasulullah Saw mengingatkan umat Islam agar tidak berlebih-lebihan dan berbangga-banggaan dalam hal makan, minum dan berinfak. Dengan kata lain, mencari dan berbagi rizki adalah dua hal yang dianjurkan. Tetapi anjuran ini tampaknya harus dibatasi dengan persyaratan yaitu tidak boleh “berlebih” untuk diri sendiri, dan merasa “lebih” di mata orang lain.
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, ada tiga orang sahabat Rasulullah Saw yang ingin “menandingi” kuantitas ibadah Rasulullah Saw. Mereka ingin salat sepanjang malam, berpuasa terus-menerus, dan tidak mau menikah. Padahal Rasulullah Saw melakukan salat malam tetapi juga tidur, beliau hanya berpuasa kadang-kadang, bahkan beliau juga menikah. Sikap para sahabat ini adalah contoh sikap yang berlebih-lebihan dalam beragama.
Sikap “berlebih-lebihan” dalam beragama, belakangan ini lebih popular disebut “ekstrem”. Menurut hemat penulis, berlebihan/ekstrem dalam “bersikap” (seperti dalam riwayat-riwayat di atas) tidaklah lebih berbahaya bila dibandingkan dengan ekstrem dalam “berpikir”. Jika “sikap yang ekstrem”, terkadang hanya membahayakan dirinya dan biasanya tampak dipermukaan. Namun, “berpikiran ekstrem”, tidak hanya memberi mudarat bagi diri sendiri, malahan bisa membahayakan kehidupan orang lain, biasanya bisa ditutupi-tutupi, dan akan tampak pada waktunya. Bahaya inilah yang dapat kita rasakan, sebagai bentuk keresahan umat akhir-akhir ini.
Dahulu ada seorang yang bernama ‘Abd bin Muljam Al-Muradi, yang hidup di masa sahabat. Dia adalah seorang yang sangat tekun (siang-malamnya) beribadah. Dia juga ahli qiraat Alquran, murid langsung Mu‘adz bin Jabal Ra. Bahkan dia juga seorang ahli fikih. Tetapi sangat disayangkan, ternyata dia adalah seorang pembunuh ‘Ali Bin Thalib Ra. (Lisan al-Mizan, V/141).
Ibn Muljam telah membunuh seorang sahabat Rasulullah Saw, seorang ayah dari cucu-cucu Rasulullah Saw. Seorang sahabat yang pernah dikatakan Rasulullah Saw : “Siapa yang mencela Ali, berarti telah mencela aku.” Seorang sahabat yang dicintai Allah dan Rasul-Nya (Tahdzib Khashaish ‘Ali, 32, 79, Isnad sahih). Bahkan Ibn Muljam merasa bangga telah berhasil membunuh ‘Ali Bin Abi Thalib, karena dianggapnya merupakan “Ibadah kepada Allah”. Na‘udzubillah.
Sikap “ekstrem” Ibn Muljam ini, pasti disulut dari pikiran-pikiran yang ekstrem. Bagi Ibn Muljam, ‘Ali bin Abi Thalib Ra telah menyimpang dari “ajaran” Alquran seperti yang dipahaminya. ‘Ali bin Abi Thalib Ra. dianggap telah berhukum dengan selain Alquran.
Harus pun diakui, bahwa kita bukanlah satu-satunya umat yang pernah memiliki pikiran-pikiran yang ekstrem dalam sejarah. Allah SWT pernah menegur Ahlukitab melalui firman-Nya : “Wahai Ahlukitab, janganlah kalian ekstrem dalam beragama, dan janganlah kamu mengatakan (sesuatu) tentang Allah kecuali dengan kebenaran.” (Lih. Q.S. 4: 171). Bentuk keekstreman berpikir Ahlukitab yang dimaksud dalam ayat ini, adalah menganggap Isa As adalah putra Tuhan. Padahal sebenarnya, Tuhan tidak punya putra, dan Isa As. adalah utusan Allah SWT. (Tafsir al-Thabari, VII: 700, 701). Meskipun ayat ini ditujukan kepada Ahlukitab, tetapi hakikatnya juga tujukan kepada umat Islam, agar tidak berpikir ekstrem dalam beragama.
Sikap ekstrem beragama akan menumbuh-suburkan klaim-klaim kebenaran secara sepihak. Hanya dirinya yang benar, yang lain salah. Lalu menyalahkan orang lain. Satu-satunya jalan keselamatan, adalah jalan yang ditempuhnya, bukan jalan yang lain, tidak ada yang disebut Subul Al-Salam (jalan-jalan keselamatan). Lalu dia menyesat-nyesatkan orang lain. Hal ini sangat bertentangan etika yang diajarkan Alquran : “Sesungguhnya kami atau kalian yang berada dalam petunjuk atau kesesatan yang nyata.” (Lih. Q.S. 34: 24).
Pikiran-pikiran yang ekstrem seperti ini, boleh jadi akan menghantarkan kepada pikiran untuk mengkafirkan orang lain. Mengkafirkan orang yang tidak sependapat/sepaham dengannya, orang yang tidak masuk kelompoknya, bahkan orang yang tidak satu kepercayaan dengannya.
Padahal Rasulullah Saw. pernah berpesan : “Siapa yang mengatakan kepada saudaranya, hai kafir, bila memang benar, ungkapan itu akan kembali kepada salah satu pihak. Namun jika tidak, maka akan kembali kepada yang mengatakannya.” (H.R. Muttafaq ‘alayh). Meskipun demikian tidaklah berakhlak orang yang mengkafirkan saudaranya. Pengkafiran adalah salah satu bentuk cacian dan fitnah kepada orang lain. Rasulullah Saw. Bersabda : “Mencaci seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah bentuk kekufuran.” (H.R. Muslim).
Jelaslah, betapa bahayanya orang-orang yang berpikiran ekstrem dalam beragama. Oleh karena itu, wajib hukumnya umat Islam untuk tidak menjadi ekstrem dalam berpikir tentang agama. Penulis akan menyampaikan dua cara menghindari berpikir ekstrem dalam beragama.
Pertama,Tidak membatasi diri pada tafsir tunggal terhadap Alquran. Orang-orang yang berpikir ekstrem pada dasarnya adalah orang-orang yang memahami Alquran dengan pemahamannya, lalu menutup diri dengan pemahaman itu. Baginya yang penting adalah, ada ayatnya dan hanya pemahamannya saja.
Tidak menyadari sabda Rasulullah Saw : “Setiap ayat Alquran ada makna zahir (tersurat), ada makna batin (tersirat), dan pada setiap batasan (makna) ada muncul (makna) lain.” (Lih. H.R. Abu Ya‘la dari Abdullah bin Mas ‘ud, sanad sahih). Abu Darda’ sempat mengatakan : “Seorang tidak dikatakan fakih, sampai mengakui bahwa Alquran memiliki banyak penafsiran.” Para ulama juga mengatakan, satu ayat memiliki kemungkinan 60 penafsiran, bahkan mungkin lebih banyak. (Ihya’ ‘Ulum al-Din, III: 523).
Pemahaman tunggal terhadap Alquran, terkadang juga bisa menyebabkan pelakunya percaya bahwa seluruhnya ada dalam Alquran. Umat Islam hanya mengambil dan mengutipnya saja, tidak mau memikirkan dan mentadabburkan Alquran lagi. Ayat Alquran dianggap menjadi hukum positif yang siap untuk dipraktikkan tanpa “tanda tanya”. Tetapi yang lebih bahaya adalah, praktik itu harus didasarkan kepada pemahamannya saja.
Kedua, Harus diakui bahwa Arab bukanlah satu-satu (gambaran tentang) Islam, dan Islam bukan hanya Arab. Ini juga sangat penting, karena banyak anggapan bahwa apapun yang dilakukan, dan yang dipikirkan oleh orang Arab berarti pasti sesuai dengan ajaran Islam. Di sini, tidak ada lagi bedanya antara budaya Arab dengan ajaran Islam, tidak dapat lagi dipisahkan antarapolitik negara Arab dengan etika politik Islam.
Cukuplah bagi kita, anjuran Rasulullah Saw ini : “Wahai manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhan mu adalah satu, nenek moyang mu adalah satu, orang Arab tidak lebih unggul dari orang non Arab, dan orang non juga tidak lebih unggul dari orang arab. Orang kulit putih tidak lebih unggul dari kulit hitam, dan kulit hitam tidak lebih unggul dari kulit putih, kecuali karena ketakwaannya.” (Riwayat Ahmad dan al-Baihaqi dari Jabir bin ‘Abdillah, isnadnya sahih).
Akhirnya marilah kita berusaha menjadi umat wasathan (pertengahan) bukan umat yang ekstrem, dalam kehidupan ini berbangsa dan bernegara ini, apalagi dala beragama. Karena Allah tidak menyukai orang-orang yang ekstrem (Lih. Q.S. 6: 141).). Fa’tabiru ya Uli al-Bab.