Musim Luwah Blang merupakan tradisi masyarakat Aceh yang sudah ada sejak lama, kini tradisi tersebut telah menjadi persoalan yang meresahkan.
Kata Luwah (Luas), Blang (sawah); artinya setelah panen raya, dahulu masyarakat Aceh melepaskan ternak mereka merumput bebas di areal persawahan yang luas.
Pada hakikatnya, dahulu di seantero Aceh, usai panen raya, pemadangan kerumunan ternak, baik itu sapi atau kerbau terlihat bebas merumput di hamparan sawah yang membentang luas. Anehnya, sekarang ini kerumunan ternak berkeliaran bebas di kawasan kota atau kerap kita temukan mengais sampah sisa pasar sayur di pusat kota.
Bahkan, ternak juga sangat sering merusak tanaman perkarangan, sehingga meresahkan masyarakat yang tidak punya ternak atau masyarakat yang ingin memanfaatkan lahan perkarangan rumah mereka untuk bertani. Alhasil gara-gara ternak berkeliaran, masyarakat yang ingin memanfaatkan perkarangan mereka terpaksa menguras kocek untuk membeli kawat berduri untuk memagari perkarangan.
Lebih berbayaha lagi, ketika musim Luwah Blang tiba, ternak juga berkeliaran di jalan Nasional Banda Aceh- Medan, ini sangat menganggu pengguna jalan. Tak anyal pengguna jalan juga terkadang menjadi korban kecelakaan, bahkan ada yang kehilangan nyawa akibat bertabrakan dengan hewan peliharan masyarakat yang dilepaskan begitu saja.
Amatan penulis, seiring majunya sektor pertanian, ketika petani aktif bercocok tanam sepanjang tahun. Tradisi Luwah Blang mulai hilang dengan sendirinya. Karena sang peternak juga seorang petani yang tidak ingin lahan sawahnya ditebang ternak sebelum tiba masa penen.
Nah, berdasarkan pengalaman tersebut, maka memanfaatkan lahan pertanian serentak di desa-desa, adalah salah satu solusi yang tepat untuk menghilangkan tradisi Luwah Blang yang sudah salah kaprah dan meresahkan itu. Jika lahan perkarangan mulai aktif di kerjakan masyarakat secara menyeluruh, tentunya masyarakat pemilik ternak juga sudah tidak lagi melepaskan hewan ternak mereka secara bebas .
Solusi memanfaatkan lahan perarangan untuk pertanian serentak di desa-desa memberikan manfaat ganda bagi petani yang juga peternak. Contohnya, ketika lahan jagung selesai panen, batang jagung sisa panen, dan rumput liar yang tumbuh di sela-sela tanaman palawija lainnya dapat dimanfaatkan juga untuk pakan ternak.
Secara tidak langsung konsep ini juga telah menjadi solusi atau cara penertiban hewan ternak dengan baik dan cermat. Dimana masyarakat peternak pun yang mayoritasnya lebih kecil dari petani harus mengalah untuk mengandangkan ternak mereka. Jika tidak sudah pasti Keuchik dan Tuha Peut di desa-desa bertambah pekerjaannya untuk menyelesaikan sengketa ternak makan tanaman. Pemilik ternak pun juga harus mengorek kantongnya untuk membayar sanksi atas tanaman warga yang dilalap binatang peliharaannya itu.
Jika ternak sekedar merusak tanaman warga, pemilik ternak masih mengaku kalau itu ternak mereka. Akan tetapi yang anehnya, ketika ternak yang mengakibatkan kecelakaan pengguna jalan hingga menimbulkan korban jiwa atau kerusakan kendaraan. Sudah pasti ternak tersebut dengan spontan tidak ada lagi pemiliknya, ini mengagetkan. Kok bisa tiba-tiba kerumunan ternak yang berkeliaran di jalan lintas Banda Aceh-Medan tidak ada pemiliknya, atau tidak ada yang tahu siapa pemiliknya, aneh kan?. (*)