Bak kata pepatah “sambil menyelam minum air”, ternyata dibalik seni kreatifitas bonsai yang digelutinya itu, Intaufik juga mampu membiaya kuliah anaknya. “Alhamdulillah, berkat usaha bonsai yang saya tekuni selama ini, hasilnya, selain dapat menutupi kebutuhan rumah tangga, juga dapat saya sisihkan untuk biaya kuliah anak saya,” akui ayah tiga anak tersebut.
Bonsai hasil kreatifitas Intaufik dijualnya menurut selera peminat. “Kita tidak bisa menentukan harga bonsai per potnya, seperti harga bunga lainnya. Harga bonsai sangat tergantung pada minat seni sipembeli itu sendiri. Terkadang satu pot bonsai berani dibeli Rp2 hingga Rp5 juta rupiah/ pot,” sebut Intaufik.
Intaufik bukanlah pria yang pelit akan ilmu. Untuk memasyarakatkan seni kreatif membonsai kepada anak-anak muda kreatif Aceh Timur, pada dua bulan lalu, dia bersama beberapa orang teman sepakat membentuk sebuah komunitas bonai di Aceh Timur yang diberi nama KOMBAT (Komunitas Bonsai Aceh Timur).
Meski Kombat belum diresmikan, namun hingga saat ini telah tergabung sedikitnya 30 anggota dari kalangan generasi peminat kreativitas bonsai di Aceh Timur. “Rencana kita, kedepan Kombat akan kita jadikan sebuah komonitas berbentuk badan hukum atau Koperasi,” ujar Intaufik didampingi Sekretaris Kombat M. Rasyid Ridha (40).
Pria kelahiran, Idi 1973 itu, menjelaskan bahwa selama ini anggota Kombat aktif berkreatifitas membonsai jenis pohon Holy ilex atau dalam bahasa Aceh disebut pohon Mangkrut dengan berbagai seni kretifitas masing-masing anggota. Untuk bahan baku Mangkrut, sambil bertamasya ke daerah pedalaman Aceh Timur, juga kerap mencari mangkrut dan berbagai jenis pohon keras lainnya untuk dijadikan bahan baku bonsai.
“Kombat adalah komunitas bonsai sekaligus pencinta alam untuk melestarikan pohon-pohon langka yang perlu diselamatkan dari ancaman kepunahan, serta untuk menciptakan pemuda kreatif di panti timur ini,” ujar Intaufik.