Bireuen – Sejak ditandatangani Konvensi Lahan Basah (Konvensi Ramsar) pada 02 Februari 1971, maka setiap tahunnya bertepatan 02 Februari, seluruh lembaga komunitas, LSM dan kelompok masyarakat di seluruh penjuru dunia memperingati hari Lahan Basah Sedunia.
Dalam rangka menyambut Hari Lahan Basah Sedunia tahun 2020 dengan tema “Lahan Basah dan Keanekaragaman Hayati“. Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan bersama Aceh Wetland Foundation (AWF), dalam Siaran Pers yang diterima freelinenews.com, Senin (03/02/2020) mengajak semua elemen masyarakat untuk menyelamatkan ekosistem site wetland (peatland/gambut) Paya Nie, di Kecamatan Kuta Blang Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh, yang dikhawatirkan terancam punah.
Kenapa Ekosistem Paya Nie?
Paya Nie terletak di Kecamatan Kuta Blang Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Paya Nie atau Payau Nie merupakan hamparan rawa yang berada di dataran cekung yang dikelilingi perbukitan. Genangan air di Paya Nie sendiri bersifat permanen, namun ketinggian debit air di Paya Nie sangat dipengaruhi oleh curah hujan.
Berdasarkan Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 7 Tahun 2013 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), luas Paya Nie mencapai 304,19 hektare. Paya Nie dikelilingi oleh tujuh desa, yaitu Desa Blang Me, Paloh Peuradi, Paloh Paya, Crueng Kumbang, Buket Dalam, Glee Putoh, dan Kulu Kuta.
Paya Nie sendiri berfungsi sebagai kawasan serapan air dan sumber air untuk pertanian. Dalam Qanun RTRW Bireuen, Paya Nie direncanakan sebagai Daerah Irigasi (DI) Kewenangan Pusat seluas 3.053,28 hektar yang tersebar di Kecamatan Kuta Blang, Gandapura, Makmur dan Peusangan Siblah Krueng.
Beberapa tahun sebelumnya, Paya Nie masih berfungsi sebagai sumber air untuk mengairi sekitar 3.053,28 hektar areal sawah di Kecamatan Kuta Blang, Gandapura dan Makmur. Namun selama dua tahun terakhir, debit air di Paya Nie kian berkurang, sehingga warga harus menggunakan pompanisasi untuk mengairi ratusan hektar sawah yang bersumber dari DAS Peusangan.
Baca ke halaman selanjutnya……………..