[dropcap]S[/dropcap]alah satu bentuk keistimewaan di Aceh adalah lahirnya sebuah badan yang diberinama Badan Penyelenggaraan Pendidikan Dayah yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2018 yang kemudian mewujud menjadi Dinas Pendidikan Dayah. Sebagaimana dinas lainnya, satuan perangkat pemerintahan ini juga mengelola program dan dana yang fokusnya tentu saja untuk kemakmuran dayah dan Lembaga Pendidikan Islam (LPI) lainnya yang berjenjang sampai TPQ.
Keberadaan Dinas Pendidikan Dayah ini menjadi kontra produktif dengan munculnya Sales Pahala yang membawa simbol-simbol dayah atau LPI lainnya. Ini bisa ditafsirkan sebagai ketidak-mampuan dinas dayah dalam mengelola keberadaan dayah. Kita tentu mengakui bahwa dinas dayah tidak mungkin mengakomodir semua kebutuhan dayah-dayah yang ada, namun setidaknya dinas ini mampu menertibkan dan menjaga wibawa dayah dan lembaga lainnya.
Tidak ada yang salah dengan Sales Pahala sebenarnya, karena itu bagain dari inisiatif-inisiatif memenuhi target kebutuhan tertentu. Namun setiap orang berbeda dalam menanggapi kondisi dilematis ini. Apalagi, jangan terkejut, ada anggapan sekalangan pimpinan lembaga memanfaatkan dana hasil kerja Sales lebih banyak untuk kebutuhan pribadinya ketimbang untuk pembangunan. Ini tentu tidak dapat dibuktikan secara riil. Tapi ketika anda coba tekuni, anda akan paham kenyataannya seperti apa.
Di sisi lain, distribusi kedermawanan kadangkala polanya sangat dipengaruhi figur seorang pimpinan dayah. Dayah tertentu “kebanjiran” bantuan/sumbangan karena performa pimpinannya mampu mendongkrak performa penderma atau kedekatannnya memberi pengaruh besar terhadap penderma.
Nilai pahala sedekah tidak dapat dikur secara matematis, tapi Allah akan memberi ganjaran yang setimpal, kemanapun sedekah itu disalurkan, jika yang diharapkan adalah pahala. Dari sisi nilai positif, mengutamakan skala kebutuhan mungkin akan lebih baik. Tapi kita tidak mudah untuk tau dayah/lembaga mana yang sejatinya harus diutamakan.