FREELINENEWS.com – Rencana Pemerintah Aceh dan Kementerian Agraria, Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyediakan lahan untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan langkah baik untuk mewujudkan salah satu komitmen penting MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Relis Pers Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA) Rabu (07/08/2024) mengatakan, rencana tersebut bertujuan untuk membantu para mantan kombatan dalam beralih ke kehidupan sipil, meningkatkan kesejahteraan mereka dan keluarga, serta mendukung proses perdamaian di Aceh.
Tapi Pemerintah perlu kehati-hatian agar tidak mengulangi kegagalan yang telah berulang kali terjadi. Kegagalan program terdahulu perlu menjadi catatan dimana pemerintah telah menyediakan banyak lahan di Aceh seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Jaya dan Aceh Tamiang.
“Namun gagal dan hingga kini tanah tersebut banyak yang dialihtangankan ke pihak lain. Hal ini tidak lain dikarenakan kurangnya kemampuan, pelatihan, modal dan kondisi lahan yang tidak layak untuk kehidupan para eks pejuang,” kata Ketua YAKATA Zamzami.
Lanjutnya, rencana pelepasan kawasan hutan di Aceh Timur terletak di Kecamatan Peunaron, Ranto Peureulak, Banda Alam dan Pante Bidari seluas 22.000 hektar perlu menjadi perhatian pemerintah karena lokasi ini terdapat ratusan ekor gajah liar yang saat ini menjadi sumber konflik yang berkepanjangan, bahkan mungkin lokasi konflik satwa paling tinggi di Indonesia.
“Melepaskan kawasan hutan ini dan membangun kebun untuk eks kombatan dinilai akan sia-sia karena konflik satwa akan meningkat. Jadi tanah ini sangat tidak layak. Belum lagi jika dikaji secara ekonomi dan ekologi secara lebih mendalam.”
“Kita memahami kebutuhan eks kombatan, tapi membiarkan mereka hidup di lahan yang tidak layak tentu saja tidak menyelesaikan masalah. Sementara lokasi-lokasi yang relatif jauh dari kawasan hutan pun, gajah masuk dan merusak lahan-lahan masyarakat dan perusahaan perkebunan, konon lagi lahan yang berada di tengah hutan,” ujar Zamzami.
Tambahnya, beberapa perusahaan perkebunan seperti PT Atakana Company, PT Dwi Kencana Semesta, PT Indo Alam, PT Bumi Flora, PT Aloer Timur, PT Putri Hijau dan beberapa lainnya, lahan mereka juga rusak akibat serangan gajah.
Diperkirakan lahan yang rusak ini mencapai lebih dari 20.000 hektar. Luas yang hampir sama dengan lahan yang diajukan pemerintah untuk eks kombatan.
Salah satu contoh lain adalah pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sumedang Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur sebanyak 189 unit rumah di lahan seluas 500 ha dari 7.200 ha lahan eks Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Gunung Raya Medang untuk mantan kombatan yang dibangun oleh pemerintah dan diresmikan pada tahun 2016 lalu.
“Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Akses ke sana rusak berat. Konflik gajah juga sangat tinggi sehingga masyarakat meninggalkan lokasi yang sudah dibangun tersebut. Sangat sulit mereka bisa hidup di habitat gajah,” paparnya.
Kesalahan yang sama hendaknya tidak diulangi oleh Pemerintah Aceh dan Kementerian ATR/BPN dengan rencana membangun lokasi yang berada di dalam hutan. Ini benar-benar akan menghamburkan dana saja dan membuat masyarakat terancam dengan risiko bencana ekologis seperti banjir serta kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang dapat ditimbulkan akibat perubahan fungsi lahan (Deforestasi) kawasan hutan yang sekarang menjadi berfungsi sebagai sumber air masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo Wilayah Sungai (WS) Jambo Aye dan DAS Peureulak. Serta membuat konflik satwa liar dan manusia yang akan menjadi sangat tinggi. Itu tidak bisa dihindari.
“Selain persoalan prosedur legalitas dan peruntukan yang tepat sasaran seperti keluarga korban konflik atau anak yatim yang orangtuanya meninggal saat berjuang maupun setelah konflik selesai.”
“Kami juga menyarankan kepada Pemerintah Aceh untuk mencari lahan yang lebih sesuai dan lebih layak hidup bagi mantan kombatan. Sangat disayangkan disaat kebutuhaan ekonomi mereka masih menyedihkan, tapi mereka malah ditempatkan di lokasi yang salah. Seakan-akan pemerintah ingin menyengsarakan mereka,” ujar putra kelahiran Aceh Timur.
Yakata menyarankan agar pemerintah dapat mencari lokasi lain dengan risiko rendah seperti HGU yang telah berakhir izinnya, HGU terlantar baik di Aceh Timur maupun di Aceh yang bisa dimanfaatkan.
“Banyak lahan yang masih dimanfaatkan tanpa harus merusak hutan. Kalaupun harus melepaskan kawasan hutan, seharusnya dipilih lokasi-lokasi yang memiliki resiko rendah. Sekarang tergantung niat baik saja,” demikian Zamzami. []