Alhamdulillah, hampir satu abad rakyat di negeri tercinta ini terlepas dari belengu kolonial yang kejam dan merusakkan. Sebentar lagi, tepatnya pada hari Senin Tanggal 17 Agustus 1945, Negara kita Republik Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun kemerdekaannya yang ke 75 dengan mengusung tema “Indonesia Maju”.
Potret kehidupan kesengsaraan, penindasan dan propaganda pembodohan generasi bangsa telah ditayangkan pada efisode di masa penjajahan tempo dulu. Upaya-upaya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi telah dilakoni oleh kaum penjajah, sehingga masyarakat dan generasi menjadi lemah dan tidak berdaya.
Mamsok candu atau Opium ke negeri kita masa penjajahan dulu adalah satu trik kolonialisme untuk melemahkan pola pikir rakyat. Bahkan kala itu penjajah menggaet pihak kerajaan sebagai mitra dalam memperdagangkan opium atau candu kepada masyarakat. Selain mereka memperoleh keuntungan besar dari bisnis candu antar negara. Opium dan candu juga salah satu alat untuk meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban, tamadun dan sikap santun rakyat negeri ini.
Secuil Kisah Peredaran Candu Seperti dilansir Tagar.Id.
Berbagai literatur sejarah menunjukkan Indonesia telah dijajah melalui perdagangan narkoba sejak sebelum kolonial Belanda dengan kongsi dagang Perusahaan Hindia Timur Belanda atau “Vereenigde Ost Indische Companie” (VOC) menginjakkan kakinya di Bumi Nusantara.
Dalam Buku “Opium to Java” yang ditulis James R Rush tahun 1882 menggambarkan sejak sebelum VOC berkuasa di Tanah Air pada awal abad ke-17, opium adalah komoditas penting dalam perdagangan dunia yang diperebutkan oleh Inggris, Denmark, dan Belanda.
Menurut buku yang diterbitkan kembali oleh Cornel University Press tahun 1990, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Mata Bangsa pada 2000 itu, menyebut Belanda kemudian memenangkan monopoli perdagangan opium di Indonesia sejak 1677, dengan menggandeng para pedagang elite China sebagai pelaksananya.
Di antaranya VOC mendapatkan perjanjian dengan Raja Jawa Amangkurat II untuk memasukkan candu ke Mataram, sekaligus memonopoli perdagangan candu ke seluruh pelosok negeri. Perjanjian serupa juga ditandatangani di Cirebon setahun kemudian.
Tercatat, dalam kurun waktu 1619-1799, VOC bisa memasukkan 56.000 kilogram opium mentah setiap tahun ke Jawa dan pada 1820 tercatat sebanyak 372 pemegang lisensi untuk menjual opium di Indonesia.
Rush, melalui buku “Opium to Java” mengungkapkan, bersamaan dengan perdagangan opium yang secara resmi digerojok VOC ke Indonesia, juga marak penyelundupan komoditas yang berasal dari bunga poppy (papaver somniferum) itu, tentunya dengan harga yang lebih murah.
Penyelundupan opium di Indonesia menyebabkan penikmat candu tersebar di berbagai kalangan masyarakat dan meluas di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan Rush dalam buku tersebut membuat perbandingan satu dari 20 orang Jawa di era itu mengisap candu.(tagar.id)
Meski hari ini tepatnya menjelang HUT Kemerdekaan Indonesia Ke- 75 tahun. Adengan merusakkan yang dilakoni kaum penjajah tempo dulu, masih saja diputarkan oleh kelompok yang ingin menghancurkan dan mencari keuntungan, dan belum kunjung tamat. Hanya judul bertukar dari Candu menjadi Sabu. Intinya Candu dan Sabu adalah sama-sama Narkoba yang dapat merusak pola pikir dan tatanan kehidupan masyarakat kita, agar Bangsa kita ini tidak dapat menggapai kemajuan.
Pengaruh Sabu (Narkoba sekarang ini) lebih parah dari pengaruh Candu (Narkoba tempo dulu). Tidak sedikit rumah tangga yang akur menjadi berantakan, ada anak yang nekat dan tega membunuh orang tuanya sendiri, perubahan dari menusia normal menjadi abnormal, orang kaya terpuruk menjadi miskin. Semua itu terjadi akibat pengaruh Sabu yang beredar dewasa ini.
Penulis tidak pungkiri atas upaya yang terus dilakukan oleh semua pihak dalam rangka menghentikan peredaran sabu dewasa ini. Penangkapan demi penangkapan terus dilakukan. Akan tetapi arus perdagangan itu terus saja bergulir, karena pemerannya adalah anak-anak negeri ini yang ingin menggapai keuntungan besar.
Berita penangkapan sabu dalam beberapa tahun terkahir menghiasi halaman-halaman media massa. Bukan satu dua kilo. Bahkan baru-baru ini, pada Kamis (13/08/2020) tepatnya dipintu tol Helvetia Jalan Kapten Sumarsono, Medan, Sumatera Utara. Pihak BNN Sumut berhasil menyita 47 Kg sabu dalam satu unit truk pengangkut kelapa dari Aceh tujuan Medan Sumatera Utara. Itu yang terbaru.
Apresiasi kepada BNN yang tidak pernah bosan mengejar para pengedar dan bandar sabu di tanah air tercinta ini. Bagaimana dengan mereka-mereka para pengguna sabu yang berada di dusun-dusun, desa-desa di tanah air ini. Mereka setiap harinya mencari rezeki untuk belanja sabu, sehingga dapur rumah tangga mereka, terkadang sepi dari asap masakan. Mereka yang telah digendrungi penyakit paranoid (cemburu) kepada pasangannya sehingga rumah tangga mereka berantakan. Upaya menyadarkan mereka itu tanggung jawab siapa?.
Apakah ini tugas pihak Kepolisian?. Atau memang tugas masyarakat bersama Kepolisian. Jika memang ini tugas kita bersama, maka pihak Kepolisian sektor di seluruh Indonesia untuk kerap melakukan patroli ke dusun-dusun dalam sebuah desa. Jalankan fungsi inteljen untuk menditeksi lokasi-lokasi yang kerap digunakan oleh pengguna narkoba jenis sabu. Bentuk Pemuda sadar narkoba di seteiap desa. Fungsikan lembaga atau Ormas untuk mengkampanyekan tetang bahaya Narkoba. Tidak tegas jika ada aparat yang menggunakan narkoba, dan membekengi para pemain narkoba.
Sisi lain, kemetrian Agama Republik harus membuat sebuah regulasi, kepada setiap pasangan yang ingin menikah menunjukkan surat bebas Narkoba. Para Bupati dan Wali Kota harus membuat Perda tes urine setiap enam bulan sekali kepada para ASN. Gerakan sipil untuk melawan peredaran Narkoba di Negari tercinta ini harus segera dikomandokan. Semoga saja rakyat negeri ini menjadi rakyat yang cinta kepada dirinya sendiri, Cinta Kepada Negerinya untuk mengapai Indonesia Maju. (Redaksi)