Freelinenews.com – Pada tahun 1870 sampai dengan 1874 perdagangan lada di wilayah Kerajaan Aceh Darussalam telah bergeser dari pantai barat Meulaboh ke kawasan pantai timur mulai Kuala Keureutoe (Aceh Utara), Simpang Ulim, Julok, Idi, (Aceh Timur) hingga ke Tamiang, dengan potensi lada yang sangat subur dan belum terjamah.
Terbukanya perdagangan lada dan hubungan dagang antara pantai timur dengan Penang (Malaysia), menjadikan pantai timur, Idi, Simpang Ulim, Julok hingga ke Tamiang tumbuh pesat. Selain Idi, Simpang Ulim juga salah wilayah di Pantai Timur yang paling cepat berkembang dalam perdagangan mancanegara kala itu. Dengan tumbuhnya perdagangan antara pantai timur Aceh dengan Penang, maka tidak tertutup kemungkinan masuknya barang-barang terlarang seperti candu (Opium) ke tanah Serambi Mekkah ini, dan merambah ke lingkungan masyarakat Aceh kala itu.
Salah satunya barang terlarang atau Narkotika yang digunakan masyarakat kala itu adalah Candu. Tulis Wikipedia, Candu dikenal dengan nama Papaver soniferum, candu merupakan bahan baku opium, tumbuhan ini berada di peisir timur laut tengah, namun hal itu tidak bisa dipastikan karena tumbuhan candu telah tumbuh dan tersebar serta dikembangkan di wilayah lainya di dunia ini sejak zaman kuno.
BACA JUGA BERITA BAHASA ACEH : Satpol PP- WH Aceh Timu Teutap Geujaga Pante Wisata Bak Uroe Pre
Kerajaan –kerajaan Islam tempo dulu telah melarang rakyatnya menghisap candu, termasuk kerajaan Aceh yang melarang keras menghisap candu. Hukuman mati terhadap penghisap candu juga telah diberlakukan oleh raja-raja sebelum Negara Kesatuan Repubik Indonesia ini merdeka. Seperti yang dilakukan oleh Teuku Muda Nyak Malim, seorang penguasa kerajaan Simpang Ulim dibawah Kesulthanan Aceh Raja Aceh Sulthan Ibrahim Masur Shah.
Teuku Muda Nyak Malim telah menghukum seorang pengisap candu di wilayah kerajaannya Simpang Ulim, tulis Anthoni Reid dalam buku “Asal Mula Konflik Aceh” cetakan ke II (2007) halaman 86. Teuku Muda Nyak Malim adalah seorang penguasa Simpang Ulim yang tegas dan taat menjalankan syariat Islam.
Pemegang tampuk kekuasaan Simpang Ulim itu, bukan saja tegas dalam menegakkan hukum kerajaan di wilayahnya. Namun, beliau juga seorang pemimpin negeri yang kaya raya di Pantai Timur Aceh kala itu. Kekayaan Teuku Muda Nyak Malim, bukan saja dikenal oleh raja-raja sekitar Pantai Timur Aceh saja, akan tetapi nama Teuku Muda Nyak Malim dikenal oleh pengusaha-pengusaha besar di Penang.
Teuku Muda Nyak Melem dikenal sebagai pengusaha lada terkaya di pesisir pantai timur, yang dapat berdagang dengan tengkulak China di Penang tanpa uang muka. Hal itu tidak dapat dilakukan oleh raja-raja lainnya di Pantai Timur Aceh kala itu. Tulis Anthony Ried, Teuku Muda Nyak Malim selain seorang raja kaya di pantai timur, Ia juga seorang muslim yang taat dan seorang kampiun kemerdekaan Aceh yang mengagumkan.(*)